Jumat, 21 September 2018

Pejuang


Setidaknya sudah hampir setahun kami tidak bertemu.
Sesekali kukirim pesan lewat whatsapp dan menelponnya ketika luang.
Sejujurnya, obrolan kami hanya seputar kesabaran dalam berjuang.
Tetapi jika kami berdua bertemu, obrolan bisa jauh meluas.
Tentang harapan karirnya, tentang calon abang iparnya, tentang bapak mamak ketika kami tumbuh besar, dan seberapa kuatnya perjuangan kami sampai ketitik ini.

Suatu hari, ia bilang, "kak, aku sayang kalian. aku sayang mamak, bapak, dan kakak". "aku pengen bahagiain bapak dan mamak, doain ya kak", lanjutnya. Adikku bukanlah tipe melankolis seperti itu. Bisa dibilang, tidak pernah kudengar ia mengatakan kalimat itu selama hidupnya.
Aku terdiam.
Aku tau ia tulus.
Aku tau ia bilang itu, jujur dari hatinya.
Tiba-tiba sekelebat teringat kenangan dulu.
Saat usia kami baru belasan tahun. Tak terhitung benda-benda apa saja yang kami rusak akibat dari perkelahian kami.
Saat-saat kami akur, saat kami bermain tak ingat waktu lalu diusir dari rumah, lalu Bapak diam-diam mengintip dibalik jendela, memperhatikan kami. Waktu itu kami terlalu muda, saat itu aku sang kakak mengajaknya kesamping rumah. Jongkok. Itu cukup sedih jika diingat, Dek.

Lalu aku sadar, kini kami sudah tumbuh dewasa.
Jarak membuatku sadar, ku hanya punya satu-satunya saudara kandung. Ia hanya dia. Lelaki yang umurnya terpaut 5 muda dariku. Lelaki yang dengan sombongnya mengatakan akan membunuh siapa saja yang menyakiti kakaknya, termasuk ketika kakaknya sedang sakit hati krna lelaki. Lelaki yang emosinya masih labil. Lelaki kedua yang amat kucintai setelah Bapak.

Dek, hidup ini tentang berjuang, kataku.
Kita bukan terlahir dari keluarga kaya. Tapi aku slalu bersyukur punya kau, Bapak dan Mamak.
Kita hidup dari hasil perjuangan Mamak Bapak kita.
Soal gagal itu biasa Dek, Lanjutku.
Lalu aku brebes mili.
Ingat hari ini, Jum'at yang penuh berkah kudengar lagi suara isak tangismu lewat telpon.
Tangisan yang sama seperti tahun lalu. Bedanya aku lebih kuat, hatiku punya benteng yang lebih kuat untuk tidak terlena akan tangisanmu.
Tak papa, kataku.
Istighfar ya dek, lanjutku.
Kita coba lagi tahun depan ya.
Jangan merasa tertekan.
Gapapa. Mamak Bapak juga gapapa.
Jangan nangis yaa.
Kututup sambungan telponnya. Lalu berjalan ke Gedung MKU. Sepanjang 2 sks, aku menahan untuk tidak menangis. Itu berat. Sangat berat.


Kenangan pengingat diri.
Allah Pemilik Semesta, Penguasa atas segalanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates